BUDAYAKAN MEMBACA
Dunia perbukuan di Indonesia akhir-akhir ini kerap disorot. Banyak masalah yang menghambat kemajuan dunia perbukuan di Indonesia, dari masalah mahalnya harga buku, produksi buku yang rendah, sampai kurangnya minat baca pada masyarakat kita. Padahal, kehadiran buku tidak dapat dipisahkan dari kemajuan suatu bangsa. Hal ini berdasarkan sinyalemen bahwa kedekatan buku dengan masyarakat berbanding lurus dengan tingkat kemajuan yang dapat dicapai oleh Negara yang bersangkutan.
Sejarah membuktikan bahwa Negara Jepang yang telah porak-poranda akibat Perang Dunia II, dalam waktu sepuluh sampai dua puluh tahun bangkit menjadi “Raksasa Ekonomi” dunia. Rahasia kesuksesan Jepang ini tidak lain karena telah berakarnya Budaya Mencintai Buku Pada masyarakatnya. Sejak restorasi Meiji, Jepang telah berhasil melakukan alih tekhnologi dan pengetahuan lewat buku.
Membudayakan kegemaran membaca bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan yang melatari pembudayaan gemar membaca. Pertama, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya buku.kenyataan ini terlihat ketika kebutuhan pokok sudah terpenuhi, orang jarang menyisihkan uangnya untuk membeli buku. Sulit sekali menjadikan sebuah buku sebagai kebutuhan utama. Akan tetapi, untuk sebuah kaset atau menonton film, banyak orang tidak sungkan mengeluarkan uang.
Selain itu tantangan lain masih banyak. Meskipun dunia perbukuan kita telah dimulai puluhan tahun yang lalu kondisinya masih belum terlihat mapan. Sebagai acuan, bisa kita lihat dari data perbukuan kita bahwa Indonesia hanya menerbitkan 4.000 sampai 6.000 judul buku per tahunnya. Sungguh tertinggal jika dibandingkan Malaysia yang menerbitkan 7.000 judul, India yang menerbitkan 13.000 judul, dan Jepang yang menerbitkan 100.000 judul buku pertahunnya.
Jumlah tersebut sungguh tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai kurang lebih 180 juta jiwa. Apalagi, 80% penduduk Indonesia dinyatakan bebas buta huruf. Dengan demikian, kebutuhan buku bagi penduduk Indonesia masih belum terpenuhi. Tantangan lain yang cukup serius berkaitan dengan kegemaran membaca ialah dampak kehadiran Televisi. Munculnya berbagai stasiun televisi swasta telah melahirkan budaya baru dikalangan masyarakat Indonesia, yaitu budaya Televisi.
Dalam Buku Megatrend 2000, futuris kondang AS, John Naisbitt dan Patricia Abuderne, memprediksi bahwa sekarang posisi buku dan televisi berada dalam titik keseimbangan. Artinya, dalam hal ini kehadiran televisi tidak akan mempengaruhi kebiasaan membaca buku. Mereka mengambil contoh di AS. Keluarga disana masih menjadikan buku sebagai hiburan favorit. Namun, hal ini bertolak belakang dengan buku Preparing For The 21st Century. Penulisnya, Paul Kenedy, mengungkapkan sejumlah tanda tentang melumpuhnya tingkat intelegensi akibat ketergantungan masyarakat AS pada budaya televisi.
Cukup mustahil Buku dan Televisi akan mencapai titik keseimbangan sebab budaya baca dikalangan masyarakat kita baru mulai tumbuh. Justru kini kehadiran buku dan televisi menjadi sebuah perseteruan. Berdasarkan persentase, aktivitas menonton televisi tiga kali lebih banyak dari pada aktivitas membaca. Perbandingannya sekitar 65,96% : 22,25%.
Selain itu tantangan lain masih banyak. Meskipun dunia perbukuan kita telah dimulai puluhan tahun yang lalu kondisinya masih belum terlihat mapan. Sebagai acuan, bisa kita lihat dari data perbukuan kita bahwa Indonesia hanya menerbitkan 4.000 sampai 6.000 judul buku per tahunnya. Sungguh tertinggal jika dibandingkan Malaysia yang menerbitkan 7.000 judul, India yang menerbitkan 13.000 judul, dan Jepang yang menerbitkan 100.000 judul buku pertahunnya.
Jumlah tersebut sungguh tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai kurang lebih 180 juta jiwa. Apalagi, 80% penduduk Indonesia dinyatakan bebas buta huruf. Dengan demikian, kebutuhan buku bagi penduduk Indonesia masih belum terpenuhi. Tantangan lain yang cukup serius berkaitan dengan kegemaran membaca ialah dampak kehadiran Televisi. Munculnya berbagai stasiun televisi swasta telah melahirkan budaya baru dikalangan masyarakat Indonesia, yaitu budaya Televisi.
Dalam Buku Megatrend 2000, futuris kondang AS, John Naisbitt dan Patricia Abuderne, memprediksi bahwa sekarang posisi buku dan televisi berada dalam titik keseimbangan. Artinya, dalam hal ini kehadiran televisi tidak akan mempengaruhi kebiasaan membaca buku. Mereka mengambil contoh di AS. Keluarga disana masih menjadikan buku sebagai hiburan favorit. Namun, hal ini bertolak belakang dengan buku Preparing For The 21st Century. Penulisnya, Paul Kenedy, mengungkapkan sejumlah tanda tentang melumpuhnya tingkat intelegensi akibat ketergantungan masyarakat AS pada budaya televisi.
Cukup mustahil Buku dan Televisi akan mencapai titik keseimbangan sebab budaya baca dikalangan masyarakat kita baru mulai tumbuh. Justru kini kehadiran buku dan televisi menjadi sebuah perseteruan. Berdasarkan persentase, aktivitas menonton televisi tiga kali lebih banyak dari pada aktivitas membaca. Perbandingannya sekitar 65,96% : 22,25%.